Senin, 09 Agustus 2010

Rukyat dan Hisab, Mengapa Ada Dua Metode Penghitungan?




Rasul Tak Pernah Ramal Kapan Puasa

Pakar Info - SETIAP Ramadan kita senantiasa berurusan dengan kata rukyat dan hisab . Mengapa ada dua metode penghitungan? Mengapa Nahdlatul Ulama (NU) memilih menggunakan rukyat dan Muhammadiyah memilih hisab? Berikut petikan perbincangan dengan KH Ahmad Ghazalie Masroeri, Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, mengenai seluk beluk ilmu falak dan cara menentukan hari pertama Ramadan.

Menjelang Ramadan, masalah ilmu falak, rukyat dan hisab selalu menarik perhatian. Sebenarnya bagaimana posisi ilmu falak dalam sistem perkalenderan internasional?

Ilmu falak atau astronomi sebenarnya hingga saat ini belum memiliki acuan baku yang sudah disepakati oleh semua negara. Hanya, memang pernah ada usulan tentang kriterianya. Misalnya jika sudah 7 derajat, maka hal itu baru disebut masuk 1 Ramadan. Di negeri ini pernah ada gagasan menyatukan almanak Islam tingkat nasional yang diprakarsai Masjid Salman ITB. Namun belum juga tercapai kesepakatan. Mengenai rukyat, kita harus tahu maknanya dulu. Rukyat itu observasi. Observasi terhadap benda-benda langit ini sebenarnya sudah dilakukan orang sebelum Masehi. Sejarah mencatat Nabi Ibrahim yang hidup ribuan tahun sebelum Masehi sudah melakukan observasi benda langit.

Dari observasi yang kemudian disertai dengan kegiatan pencatatan inilah yang nantinya melahirkan ilmu yang bernama astronomi atau ilmu falak. Lalu berkembang dan sebagian lagi disebut ilmu hisab atau practical astronomi. Jadi yang namanya ilmu astronomi dan hisab itu berdasarkan dari hasil observasi atau rukyat. Atau dengan kata lain rukyat adalah induk yang melahirkan kedua ilmu tadi. Tanpa ada rukyat mustahil lahir kedua ilmu tadi. Namun nilai rukyat tidak hanya melahirkan kedua ilmu.

Apa nilai lainnya?

Ada nilai ilmiah, kebersamaan, dan kemudahan, juga iman yang dikandung oleh rukyat. Rasulullah sendiri melakukan rukyat. Ini bisa dimaknai bahwa agama Islam adalah agama yang mudah. Coba kita bayangkan bagaimana jika semua orang harus membuka ”buku pintar” hisab? Sangat sulit bukan? Karena itu sangat mudah kita melakukan observasi atau rukyat, daripada rumit-rumit membuat hisab.
Waktu saya masih kecil dan tinggal di kampung, suasana masih gelap dulita dan tidak ada listrik. Radio pun tidak ada. Ibu saya menerawang bulan dengan menggunakan kerudung. Hasilnya, ia langsung bisa mengatakan hari itu 1 Ramadan. Sekarang hal itu hampir tidak bisa dilakukan, karena semua orang ingin instan saja, tidak mau melakukan rukyat. Padahal hisab itu selain rumit juga berbeda-beda.

Seperti apa perbedaannya?

Di Indonesia saja paling tidak ada 25 metode hisab, dari yang paling rendah tingkat akurasinya sampai yang tinggi akurasinya. Perbedaan dalam hitungan menit atau jam ya masih bisa ditoleransi, tetapi kalau perbedaan sudah hitungan hari, itu sangat fatal. Kita pernah mengalami hal yang fatal ini.

Kapan itu terjadi?

Pada 2006 terjadi Jawa Timur, ada metode yang memberikan prediksi bahwa hilal sudah sangat tinggi. Karena gabungan dari pengondisian dan ketidaktahuan pe-rukyat, maka dilaporkan hal itu hilal. Padahal bukan.
Ada contoh lain. Pada tahun ini ada Maulid Nabi Muhammad. Almanak yang dibuat Depag dan NU itu berbeda pada awal bulannya. Perbedaannya sampai sehari. Bersandar dari contoh itu, mari kita kembali pada Rasulullah, yang memang tidak pernah merujuk pada hisab. Selain itu dengan mendorong orang-orang untuk mengobservasi atau me-rukyat benda-benda langit, maka akan lebih menghayati ciptaan Allah yang begitu besar dan luas, apalagi Sang Penciptanya. Itu diharapkan hal itu akan menambah iman.
Selain itu rukyat juga bisa mempersatukan umat, karena kita melihat realitas di lapangannya itu seperti apa. Kalau hisab metode satu dengan yang lainnya saja berbeda, bagaimana bisa mempersatukan umat. Mengenai perlunya penyatuan almanak, saya saat di ITB pernah mengatakan hal itu bisa disatukan asalkan memenuhi kriteria.

Apa saja kriterianya?

Pertama kriteria astronomis, kedua geografis, ketiga politis dan keempat kriteria syar'i. Kalau ini bisa dipenuhi semua maka terwujudlah almanak yang satu. Kriteria astronomis terpenuhi bila ada penampakan hilal. Mengenai kriteria geografis ini perlu saya tegaskan, karena ada beberapa kelompok Islam Indonesia yang mengikuti rukyah global. Padahal kita ini kan di Indonesia. Mengenai aspek politis, bahwa hasil semua ini harus mendapatkan sertifikasi dari pemerintah. Dan sertifikasi pemerintah ini bila sudah memenuhi syar'i, yaitu setiap bulan harus ada Itsbat. Perjuangan ke arah almanak Islam nasional, dengan demikian, masih berada di tahap awal.
Sekarang ini banyak yang sudah mengatakan penetapan awal Ramadan sama antara NU dan Muhammadiyah sama, namun penetapan 1 Syawal-nya bisa berbeda.

Apa komentar Anda?

Saya berharap 1 Syawalnya juga bisa sama-sama. Tapi saya tidak bisa menjamin seperti itulah yang bakal terjadi. Pada saat rapat, Badan Hisab dan Rukyat diminta berdoa agar nanti bisa sama. Hmm, betapa kami berupaya untuk menyamakan itu, sehingga kami meningkatkan pasukan kami untuk rukyat. Yang dulu titik untuk rukyat hanya 55, sekarang kami menambahan titik pemantaun, menjadi 99 titik.
Dengan ikhtiar yang sudah seperti ini, kami tinggal berharap Allah SWT mengizinkan kita untuk bisa berpuasa bersamaan.
Tetapi saya tidak bisa menjamin. Orang memang kadang-kadang menilai begini, mengapa NU kok tidak segera saja mengumumkan. Bahkan ada yang menilai NU tidak bisa menghitung, ya saya ketawa saja mendengar adanya perkataan seperti itu. Untuk menentukan 10 Agustus sebagai awal puasa, kami sudah menghitung sejak tiga tahun lalu. Kami ikhtiar dan terus ikhtiar.Ikhtiar kami pada hari itulah kita rukyah, mengenai hasilnya ya terserah Allah. Tapi perlu saya garisbawahi rukyat ditambah dengan hisab itu sangat enak.

Seperti apa enaknya?

Gampangnya seperti ini, kalau hisab mengatakan bahwa matahari waktu terbenam nanti, diperhitungkan letaknya di sebelah utara titik barat sekian derajat tingginya, maka saya harus menengok ke mana, saya kan jadi tahu. Ini kan untuk memandu dan memudahkan. Ini juga untuk menghindari kesalahan dan menghindari kebodohan. Mengapa saya perlu tegaskan hal ini? Karena pernah terjadi pada 2006 peristiwa yang mempertunjukkan kesalahan dan kebodohan.

Seperti apa kejadiannya?

Waktu itu kami menerima laporan dari Bangkalan Madura. Laporan itu mengatakan hilal terlihat, padahal semua ahli hisab, ahli astronomi dengan berbagai pertimbangan ilmiahnya mengatakan hilal tidak akan terlihat. Maka laporan seperti itu harus dianggap bohong. Jadi di sinilah peranan ilmu hisab.

Namun namanya juga perhitungan oleh manusia, bisa saja salah, maka kita lakukan rukyat. Inilah yang namanya bisa untuk saling mengoreksi. Makanya pada saat rapat Badan Hisab dan Rukyat, saya katakan bahwa saya menyerukan kepada para astronom dan ahli hisab, untuk selalu inovatif. Jangan statis.

Supaya tidak statis, harus selalu mengoreksi hitungannya, dan cara mengoreksi ya harus dengan menggunakan rukyat. Rukyat itu adalah instrumen untuk mengoreksi. Untuk apa yang namanya teropong bintang di Boscha dan Planetarium, bila tidak untuk melakukan kegiatan ini.
NU dengan berbagai keterbatasannya saja mempunyai kesungguhan sehingga menyebar pemantau hilal ke mana-mana. Kalau pemerintah dalam hal ini Kemenag dan Kemenkominfo memfasilitasi kepentingan rukyat di seluruh wilayah Indonesia setiap bulan, maka makin tinggi tingkat keakurasiannya. Kita sebenarnya bisa memanfaatkan IT yang kita miliki. Yang sederhana saja seperti NU bisa mlaku kok.
NASA itu setiap hari melakukan observasi benda-benda langit lho.

Di Indonesia penggunaan dua metode (hisab dan rukyat) sering menimbulkan aspek sosial tersendiri. Apa komentar Anda?
Aspek sosial dalam hal ini perbedaan yang menjurus kepada persaingan sebenarnya tidak perlu terjadi bila, semua pihak sadar dan mengikuti Rasulullah Saw. Saya berharap kepada umat Islam seluruhnya tanpa terkecuali, mari bersama-sama mengawali dan mengakhiri Ramadan. Karena kami mengikuti cara Rasulullah, maka kami pun siap ”bercerai” dengan pemerintah, bila pemerintah tidak mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Kami sudah pernah ”bercerai” dengan pemerintah dan uniknya pada waktu itu presidennya Gus Dur. Gus Dur mungkin karena dibisiki oleh stafnya atau bagaimana dan yang mbisiki itu tidak tahu persoalan, maka Gus Dur mengikuti yang hisab saja. Kita tegas menyatakan berpisah dengan pemerintah, karena dari kacamata NU pemerintah saat itu tidak mengikuti Rasulullah. Begitu prinsip kami waktu itu, dan kami akan konsisten untuk bersikap yang sama untuk saat ini dan masa mendatang.

'>
Related Posts

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA