Minggu, 04 Juli 2010

POLRI Gelar Aksi Borong Majalah "TEMPO"




PAKAR INFO - Majalah Tempo edisi 'Rekening Gendut Perwira Polisi' sulit diperoleh di pasaran karena telah diborong oknum polisi. Langkah tersebut menunjukan kepanikan atas informasi yang ditulis majalah Tempo tersebut.

"Ini akan membuat image negatif buat polisi atau siapapun yang melakukan itu. Karena itu akan nampak sebagai seseorang yang panik, ketakutan dan tujuan akhirnya untuk mengerem informasi justru tidak berhasil," ujar pengamat komunikasi Ade Armando, Senin (28-6).

Menurut Ade, langkah yang dilakukan oknum kepolisian, sangatlah tidak efektif untuk menghentikan penyebaran informasi. Masyarakat justru akan semakin penasaran dengan hal tersebut dan jika memungkinkan bisa saja diperbanyak dengan cara lain.

"Kalau diperbanyak kan bisa saja Tempo memfotokopi, atau discan kemudian ditaruh di Tempo Online (Tempo Interaktif)," jelasnya.

Ade menambahkan, kalau yang dilakukan oknum polisi tersebut jelas salah di era demokrasi. Sebagai perbandingan, kata Ade, kalau zaman orde baru dilakukan dengan tindakan represif maka kini dengan lakukan pemborongan.

"Apa yang dilakukan sekarang merupakan penyadaran tidak bisa digunakannya metode represif seperti zaman orba. Tujuannya agar informasi tersebut tidak menyebar," tambahnya.

PARA pejabat Mabes Polri sedang disorot. Kasusnya seputar temuan sekaligus pengaduan lembaga antikorupsi Indonesian Corruption Watch (ICW) soal rekening para jenderal polisi yang bernilai miliaran rupiah. Simpanan berbentuk miliaran rupiah dan ribuan dolar tersebut dianggap tidak sebanding dengan gaji serta tunjangan yang mereka terima setiap bulan.

Temuan ICW itu sebenarnya bukan data baru. Awal Juni 2010, ICW secara berhati-hati sudah merilis ke sejumlah wartawan. Ketika itu, datanya masih samar-samar karena hanya menyebut angka rupiah dalam jumlah besar tanpa seorang pun pemilik rekening. ICW membeberkan ada 15 rekening perwira polisi yang diduga tidak wajar. Salah satunya adalah rekening milik jenderal senilai Rp95 miliar.

Namun, beberapa hari ini data isi rekening tidak wajar itu terungkap gamblang setelah sebuah majalah berita mingguan memuatnya sebagai laporan utama edisi penerbitan 28 Juni–4 Juli 2010. Laporan yang ditulis hingga delapan halaman itu berjudul Rekening Gendut Perwira Polisi.

Ada tiga angle plus beberapa foto lengkap dengan grafis rincian nama perwira serta isi rekeningnya. Perwira itu mulai Irjen MS (Rp8,55 miliar dan USD59.814 serta mobil BMW dan Alphard), Irjen SYW (Rp6,53 miliar), Irjen BD (Rp4,68 miliar), Irjen BH (Rp2,09 miliar plus USD4.000), serta Komjen SD (Rp1,58 miliar).

Pemberitaan tersebut membikin merah telinga para pejabat Mabes Polri. Entah ada mobilisasi atau tidak, ada saksi yang memergoki beberapa polisi berseragam dan berpistol memborong majalah tersebut sejak Senin (28/6). Mabes Polri bereaksi atas sinyalemen bahwa aksi borong tersebut merupakan perintah dari sejumlah perwira polisi.

Dalam pernyataan resminya, Mabes Polri membantah sinyalemen tersebut. Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol. Edward Aritonang justru meminta wartawan mengambil foto polisi yang memborong majalah berita politik tersebut.

Aksi borong majalah itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebab, dari isi laporan, pemberitaan seputar rekening bermasalah tersebut tidak perlu diributkan. Pihak pembuat berita, juga sudah membuat penulisan berita secara berimbang dengan menampilkan pernyataan dari pemilik rekening. Sebaliknya, aksi borong tersebut justru memunculkan kesan bahwa perwira kepolisian kebakaran jenggot atas isi laporan itu.

Para perwira polisi seharusnya menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai benar-tidaknya informasi tersebut. Kalaupun isi pemberitaan itu dianggap sebuah aib, tentunya para perwira harus menyikapi dengan bijak.

Mereka tentu tidak harus lagi mengumpulkan harta dengan cara-cara yang mungkin menurut undang-undang tidak wajar. Mereka sebaiknya segera mengevaluasi diri dengan menunjukkan kinerja sesuai tata pemerintahan yang baik (good governance).

Bagi aparat hukum di luar kepolisian, pemberitaan tersebut bisa menjadi bekal untuk penelusuran lebih lanjut. Sesuai UU No. 25/2003 tentang Pencucian Uang, penyidikan kasus transaksi mencurigakan (suspicious transaction) di sebuah rekening memang menjadi kewenangan penyidik Mabes Polri.

Namun, itu tidak berarti upaya mengusut kasus tersebut tertutup. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung bisa saja menggunakan perangkat perundang-undangan pemberantasan korupsi untuk mengusut temuan rekening tidak wajar tersebut. Selain itu, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) bisa memainkan peran untuk mengklarifikasi temuan ICW tersebut.

'>
Related Posts

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA