1. Fase bulan madu
Fase ini dikenal sebagai fase yang romantis, dan ideal. Rasa bersemangat dan tertarik pada pasangan di saat pertama menikah membuat semua hal menjadi mudah dan indah. Saking tingginya perasaan positif yang dirasakan hingga bisa meruntuhkan logika. Pasangan bisa berbicara berjam-jam, mereka bisa merasa didengarkan, dihargai, dan dipahami. Perasaan suka cita dan bahagia karena jatuh cinta ini membuat pasangan menurunkan kewaspadaan mereka. Pasangan lebih toleransi terhadap perilaku buruk pasangan mereka dan lebih fleksibel. Ketika konflik terjadi, pasangan lebih mudah mengalah agar tak kehilangan kesenangan dan perasaan positif yang mereka rasakan.
Fase ini dikenal sebagai fase yang romantis, dan ideal. Rasa bersemangat dan tertarik pada pasangan di saat pertama menikah membuat semua hal menjadi mudah dan indah. Saking tingginya perasaan positif yang dirasakan hingga bisa meruntuhkan logika. Pasangan bisa berbicara berjam-jam, mereka bisa merasa didengarkan, dihargai, dan dipahami. Perasaan suka cita dan bahagia karena jatuh cinta ini membuat pasangan menurunkan kewaspadaan mereka. Pasangan lebih toleransi terhadap perilaku buruk pasangan mereka dan lebih fleksibel. Ketika konflik terjadi, pasangan lebih mudah mengalah agar tak kehilangan kesenangan dan perasaan positif yang mereka rasakan.
2. Fase penyesuaian
Ini terjadi ketika masa bulan madu sudah berakhir. Romansa dan euforia yang dirasakan pasangan perlahan semakin menurun. Fase ini adalah yang paling menantang. Dalam fase ini tak jarang pasangan yang mulai berubah pandangan terhadap suami/istri mereka. Mereka tak lagi melihat pasangan sebagai partner melainkan saingan untuk berebut kekuasaan dalam pernikahan. Konflik yang berkaitan dengan keintiman, uang, dan anak sering muncul dalam pernikahan pada fase ini.
Ini terjadi ketika masa bulan madu sudah berakhir. Romansa dan euforia yang dirasakan pasangan perlahan semakin menurun. Fase ini adalah yang paling menantang. Dalam fase ini tak jarang pasangan yang mulai berubah pandangan terhadap suami/istri mereka. Mereka tak lagi melihat pasangan sebagai partner melainkan saingan untuk berebut kekuasaan dalam pernikahan. Konflik yang berkaitan dengan keintiman, uang, dan anak sering muncul dalam pernikahan pada fase ini.
Tak jarang pasangan yang merasa
takut merusak pernikahan justru sering memendam kekesalan dan konflik dalam
diri mereka. Hal ini justru bisa berakibat fatal untuk masa yang akan datang.
Memendam konflik sendiri akan membuat seseorang merasa sendiri dan terasing
dari pasangannya.
3. Fase rumah kosong
Pasangan yang berhasil menjalani fase kedua dengan baik pada akhirnya akan menghadapi fase ketiga. Fase ini terjadi ketika pasangan berada di usia pernikahan ke 20 tahunan. Tanggung jawab mereka membesarkan anak telah berubah dan anak-anak sudah banyak yang meninggalkan rumah untuk membangun kehidupan mereka sendiri. Pada fase ini pasangan kembali hanya berdua dan memikirkan cara untuk menghabiskan masa tua mereka bersama.
Yang harus
diperhatikan dari ketiga fase ini adalah bahwa bukan rasa cinta membara yang
membuat hubungan pernikahan awet. Pernikahan akan tahan lama jika pasangan mau
saling menghargai, menjaga satu sama lain, menerima, serta bersedia menjadi
teman dan sahabat untuk menghadapi segala cobaan.Pasangan yang berhasil menjalani fase kedua dengan baik pada akhirnya akan menghadapi fase ketiga. Fase ini terjadi ketika pasangan berada di usia pernikahan ke 20 tahunan. Tanggung jawab mereka membesarkan anak telah berubah dan anak-anak sudah banyak yang meninggalkan rumah untuk membangun kehidupan mereka sendiri. Pada fase ini pasangan kembali hanya berdua dan memikirkan cara untuk menghabiskan masa tua mereka bersama.
Sumber : merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA